SNIPS 2015 Conference

Strategi Scaffolding dapat Meningkatkan Keterampilan Metakognitif Siswa Low Achievement
Ika Zubaida

SMA Islam Al-Izhar Pondok Labu Jakarta Selatan


Abstract

Tuntutan pembelajaran matematika dewasa ini adalah pembelajaran seharusnya dilakukan dengan pola konstruksi dan rekonstruksi agar siswa dapat berfikir kritis dalam mencari strategi pemecahan masalah. Keberhasilan seorang siswa menyelesaikan pemecahan masalah matematik berkaitan erat dengan kemampuannya dalam memantau proses berfikirnya sendiri yang terkait juga dengan keterampilan metakognitifnya. Namun tidak setiap individu siswa memiliki keterampilan tersebut. Terdapat tiga aspek metakognitif yang relevan dalam pembelajaran matematika, yaitu: (1) belief and intuition, (2) prior knowledge, dan (3) self-regulation. Salah satu strategi pembelajaran untuk dapat meningkatkan ketrampilan metakognitif adalah scaffolding. Scaffolding dapat mendorong siswa masuk pada zona perkembangan kognitif (Zone Proximal Development). Berdasarkan fenomena itu, maka dilakukan penelitian tindakan tentang penerapan strategi scaffolding untuk meningkatkan keterampilan metakognitif siswa low achievement. Subjek penelitian sebanyak 3 siswa kelas XI IPA yang berada pada kriteria low achievement. Peningkatan keterampilan metakognitif siswa yang diamati antara lain: (1) jenis-jenis pertanyaan siswa, (2) respon siswa pada saat memberikan argumen, (3) komunikasi siswa pada saat berdiskusi dengan teman sebaya, dan (4) strategi yang digunakan atau dipilih siswa untuk menyelesaikan masalah matematik. Berdasarkan uji analisis data dengan menggunakan triangulasi data yang diperoleh, (1) diperlukan strategi scaffolding khusus untuk siswa low achievement pada saat kegiatan belajar mengajar di kelas, yaitu dengan menggunakan pola high-high-middle-low-middle atau high-middle-high-middle-low terbukti lebih efektif untuk membangun prior knowledge siswa low achievement dibandingkan dengan menggunakan pola high-low-middle-middle-high maupun low-high-high-middle-middle; (2) scaffolding harus segera dihentikan pada saat siswa low achievement dipandang jenuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada alasan (mengapa, jadi, kemudian); (3) scaffolding dengan cara menanyakan ulang respon siswa dapat membuat siswa berfikir tentang apa yang dipikirkannya, dalam hal ini maka siswa tersebut telah mengelola proses berfikirnya dan; (4) mendiskusikan alasan dari setiap langkah pembuktian aturan matematik, melalui diskusi teman sebaya, siswa low achievement memiliki belief and intuition untuk mengkomunikasikan (mengemukakan) argumen tentang langkah-langkah pembuktian matematik.

Keywords: Scaffolding, ketramplan metakognitif, Low Achievement

Topic: Pembelajaran (EDU)

Link: https://ifory.id/abstract-plain/qcZ2J7RHfYXy

Web Format | Corresponding Author (IKA ZUBAIDA)