Pengukuran kecerahan langit malam arah zenith untuk penentuan awal waktu fajar Dhani Herdiwijaya
ITB
Abstract
Cahaya dari Matahari akan berinteraksi dengan lapisan-lapisan atmosfer, sehingga muncul fase peralihan dari malam menuju siang, dan sebaliknya. Fenomena peralihan yang relatif singkat, yaitu orde satu jam, sangat penting bagi kehidupan, baik manusia, flora, dan fauna. Berbagai upaya untuk telaah fisis optika atmosfer, serta dampak bagi kehidupan masih sangat relevan dilakukan, untuk pemahaman ilmu pengetahuan dan teknologi terkini. Salah satu cara untuk mengkuantisasi fase peralihan malam menuju siang adalah mengukur kecerahan langit dengan alat sederhana pengukur intensitas cahaya yang disebut fotometer. Makalah ini menyajikan hasil pengukuran kecerahan langit dengan fotometer saku pada arah zenith untuk hari tertentu yang dipilih dengan kriteria yang ditentukan, yaitu cuaca cerah, minimal awan, dan tidak ada sabit Bulan. Hasil pengukuran kecerahan langit untuk empat lokasi, yaitu Observatorium Bosscha, Cimahi, Yogyakarta, dan Kupang memperlihatkan bahwa langit tergelap malam hari terjadi di Kupang. Tetapi cahaya Zodiak (fajar semu) tidak diamati di Kupang. Sedangkan Cimahi mempunyai tingkat polusi cahaya paling tinggi. Polusi cahaya sangat berpengaruh terhadap nilai kegelapan malam hari. Efek malam semu ditemukan dalam studi ini, yaitu kondisi dimana perubahan kecerahan langit yang kecil sampai sudut elevasi -11 derajat, akibat dari cahaya Matahari yang terserap oleh partikel-partikel polutan di atmosfer rendah. Cahaya Matahari berinteraksi dengan lapisan atas atmosfer Bumi mulai terjadi pada sudut elevasi -17 derajat atau sekitar 65 menit sebelum Matahari terbit, sehingga sudut ini dapat menjadi awal dari waktu salat Shubuh. Makalah ini juga memperkirakan ketinggian atmosfer dimana cahaya Matahari mulai dihamburkan oleh atmosfer.
If your conference is listed in our system, please put our logo somewhere in your website.
Simply copy-paste the HTML code below to your website (ask your web admin):